Powered By Blogger

Rabu, 25 Mei 2011

IKAN LELE SANGKURIANG

Ternak Lele Sangkuriang dengan Pengelolaan Limbah Organik

“Bibit yang kami belipun belum layak dijadikan bibit karena ukurannya hanya sekitar 3-4 cm. Seharusnya bibit yang layak ukurannya sekitar 4-6 cm. Ini berpengaruh terhadap daya tahan tubuh lele.”
Memilih usaha ternyata tidak harus dari sesuatu yang besar. Banyak peluang bisa diperoleh justru dari sesuatu yang nampak sepele. Misalnya, beternak ikan lele. Ikan berkumis ini memang masih dipandang sebelah mata oleh pebisnis. Padahal, keuntungan yang dijanjikan cukup besar. Gerai supermarket hingga warung tenda di pinggir jalan butuh pasokan lele dalam jumlah banyak secara rutin.
Prospek cerah usaha lele tidak disia-siakan oleh Franky Maradonna, mahasiswa Program Studi Administrasi Negara. Bersama dua orang kerabatnya Angga Susanto, mahasiswa Program Studi Administrasi Negara dan Putry Nurhaeni, mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, merekapun memulai bisnis ini.
Ketiadaan modal, tak melunturkan semangat mereka. Program Kegiatan Mahasiswa Kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), jadi kesempatan untuk mengajukan proposal kewirausahaan mengenai ternak Lele Sangkuriang di lahan sempit dengan pengelolaan limbah organik. Karena dinilai konsep yang dibuat baik dan usaha yang ingin dirintis adalah usaha produktif, Dikti pun menerima proposal tersebut. Kini mereka mendapatkan dana hibah untuk merintis usaha.
Saat ditanya kenapa Lele Sangkuriang yang diternak, Frankypun menjawab, “Lele Sangkuriang selain proses pembesaran lebih cepat dibandingkan dengan lele yang lain, pakannyapun juga lebih mudah bisa menggunakan limbah peternakan, limbah pemindangan, dan limbah pabrik roti dengan harga murah, sehingga biaya pemberian pakan dapat berkurang dan menghasilkan keuntungan yang besar,” paparnya.
Ternak lele, lanjut Frangky, tidak membutuhkan banyak oksigen seperti ikan Gurame. Airnya pun tidak harus pada air yang mengalir. Kolam lele tidak harus menggunakan tanah yang digali tetapi dapat menggunakan terpal berukuran 2×3 yang pada tiap sisinya diikatkan pada tiang dengan kedalaman satu setengah meter. “Bagi yang ingin berbisnis lele dan tidak memiliki lahan yang memadai, tidak perlu khawatir, cara ini dapat dilakukan, sayapun juga menggunakan cara seperti ini,” tutur Frangky menyarankan.
Awalnya, ia merasa kesulitan berternak Lele Sangkuriang karena belum tahu caranya. Dari 1000 bibit yang dibeli semuanya mati dalam waktu singkat. Padahal telah banyak referensi buku dan artikel yang ia baca dari buku ataupun internet tentang cara berternak lele.
“Buku itu menganjurkan, bibit yang telah dibeli, dituangkan dalam kolam yang sudah berisi air. Lalu saya praktikan, ternyata semua lele yang saya beli mati. Dari situ saya menyimpulkan ternyata teori dengan praktiknya berbeda,” tuturnya.
Frangky mengakui, karena belum mengetahui cara berternak lele, menjadi penyebab matinya semua bibit lele yang telah Frangky beli. “Bibit yang kami belipun belum layak dijadikan bibit karena ukurannya hanya sekitar 3-4 cm. Seharusnya bibit yang layak ukurannya sekitar 4-6 cm. Ini berpengaruh terhadap daya tahan tubuh lele. Makanan yang kami beripun pada waktu itu pelet. Dari makanannya saja sudah salah, bagaimana lele mau bertahan hidup,” aku Frangky.
Beruntung Frangky dan timnya kenal dengan dosen perikanan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta. Setelah berkonsultasi dengannya, ia pun menganjurkan agar Frangky dan timnya mengunjungi peternakan lele yang cukup besar di daerah Gadog.
“Kamipun pergi kesana. Saat kami mau membeli lele, sang pemilik kolam tidak mengijinkan dengan alasan kami belum tahu cara berternak lele. Akhirnya, kami diajari cara berternak lele yang benar. Setelah dua kali kami ke sana untuk belajar, akhirnya pada kunjungan ketiga, sang pemilik mengijinkan kami untuk membeli. Banyak pelajaran yang kami dapat dari sana,” tandas Frangky.
Sang pemilik kolam yang ditemuinya di Gadog mengajarkan Frangky agar membuat wadah terlebih dahulu sebelum mencemplungkan lele ke dalam kolam. Caranya, kata Frangky, kolam yang sudah berisi air diletakkan pupuk kandang (kotoran kambing) sebanyak lima kg, lalu ditambah garam satu sendok dan zat kimia, kemudian didiamkan selama delapan hari. Setelah timbul plankton, lanjut Frangky, baru lele dicemplungkan. Plankton tersebut berguna untuk mengatur kadar keasaman air.
Frangky mengakui, pengetahuan yang ia peroleh selama di Gadog sangat berguna dalam pengembangan usaha lele miliknya. Sekarang usaha yang dirintisnya sudah berkembang. Kini, dari 1.000 bibit lele yang ia beli, satupun tidak ada yang mati. “Setelah enam minggu berjalan, ukuran lele sudah sekitar 11 cm, rencananya kami panen tiga bulan lagi, sekitar pertengahan Juli,” katanya dengan penuh optimis.
Mengenai pemasaran lele tersebut, Frangky mengatakan, akan menawarkan kepada warung-warung tenda pecel lele yang ada di pinggir jalan dan pasar di sekitar rumahnya yang membutuhkan pasokan lele secara rutin. “ Semua berawal dari yang kecil, lakukan yang terbaik dari yang kecil dan focus dalam membangun usaha,” ujar Frangky.
Hal ini ditanggapi positif oleh Kepala Biro Kemahasiswaa, Djainul Djumadin. Katanya, upaya Frangki dan timnya dapat ditiru oleh mahasiswa lain. Mental dan keterampilan kewirausahaan harus dibangun. “Seharusnya pola fakir mahasiswa tidak hanya mencari kerja tetapi juga harus bisa membuka lapangan kerja. Lulusan perguruan tinggi harus dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar,” papar Djainul.
Menurutnya, Upaya yang dilakukan Frangky sejalan dengan misi Unas dalam mencetak para wirausahawan muda yang handal dengan memasukkan mata kuliah kewirausahaan ke dalam kurikulum semua program studi diploma dan S1. Langkah berikutnya adalah memfasilitasi praktek kewirausahaan melalui ekspo dan koperasi. Unas telah mencanangkan untuk membina kemitraan yang lebih aktif antara wirausaha mahasiswa dengan wirausaha yang telah mapan.
“Biro Kemahasiswaan telah membina lima kelompok wirausaha mahasiswa antara lain usaha jamur, batako dari limbah got, usaha koktail dan lidah buaya, pupuk organik dan perangkat lunak pembelajaran secara praktik,” tutup Djainul.

Reproduksi dan Pendederan Lele

Induk ikan lele SANGKURIANG yang akan digunakan dalam kegiatan proses produksi harus tidak berasal dari satu keturunan dan memiliki karakteristik kualitatif dan kuantitatif yang baik berdasarkan pada morfologi, fekunditas, daya tetas telur, pertumbuhan dan sintasannya. Karakteristik tersebut dapat diperoleh ketika dilakukan kegiatan produksi induk dengan proses seleksi yang ketat.
Persyaratan reproduksi induk betina ikan lele SANGKURIANG antara lain: umur minimal dipijahkan 1 tahun, berat 0,70 – 1,0 kg dan panjang standar 25 – 30 cm. Sedangkan induk jantan antara lain: umur 1 tahun, berat 0,5 – 0,75 kg dan panjang standar 30 – 35 cm.
Induk betina yang siap dipijahkan adalah induk yang sudah matang gonad. Secara fisik, hal ini ditandai dengan perut yang membesar dan lembek. Secara praktis hal ini dapat diamati dengan cara meletakkan induk pada lantai yang rata dan dengan perabaan pada bagian perut. Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan.
Jumlah induk jantan dan induk betina tergantung pada rencana produksi dan sistem pemijahan yang digunakan. Pada sistem pemijahan buatan diperlukan banyak jantan sedangkan pada pemijahan alami dan semi alami jumlah jantan dan betina dapat berimbang. Induk lele SANGKURIANG sebaiknya dipelihara secara terpisah dalam kolam tanah atau bak tembok dengan padat tabr 5 ekor/m2 dapat dengan air mengalir ataupun air diam. Pakan yang diberikan berupa pakan komersial dengan kandungan protein diatas 25% dengan jumlah pakan sebanyak 2 – 3 % dari bobot biomasa dan frekuensi pemberian 3 kali per hari.

Pemijahan dan Pemeliharaan Larva

Pemijahan ikan lele SANGKURIANG dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: pemijahan alami (natural spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan (induced/artificial breeding). Pemijahan alami dilakukan dengan cara memilih induk jantan dan betina yang benar-benar matang gonad kemudian dipijahkan secara alami di bak/wadah pemijahan dengan pemberian kakaban. Pemijahan semi alami dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara alami. Pemijahan buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara buatan.
Pemijahan alami dan semi alami menggunakan induk betina dan jantan dengan perbandingan 1 : 1 baik jumlah ataupun berat. Bila induk betina atau jantan lebih berat dibanding lawannya, dapat digunakan perbandingan jumlah 1 : 2 yang dilakukan secara bertahap. Misalnya, induk betina berat 2 kg/ekor dapat dipasangkan dengan 2 ekor induk jantan berat 1 kg/ekor. Pada saat pemijahan, dipasangkan induk betina dan jantan masing-masing 1 ekor. Setelah sekitar setengah telur keluar atau induk jantan sudah kelelahan, dilakukan penggantian induk jantan dengan induk yang baru. Wadah pemijahan dapat berupa bak plastik atau tembok dengan ukuran 2 x 1 m dengan ketinggian air 15 – 25 cm. Kakaban untuk meletakkan telur disimpan di dasar kolam.
Pemijahan buatan menggunakan induk betina dan jantan dengan perbandingan berat 3 : 0,7 (telur dari 3 kg induk betina dapat dibuahi dengan sperma dari jantan berat 0,7 kg).
Pemijahan semi alami dan buatan dilakukan dengan melakukan penyuntikan terhadap induk betina menggunakan ekstrak pituitari/hipofisa atau hormon perangsang (misalnya ovaprim, ovatide, LHRH atau yang lainnya). Ekstrak hipofisa dapat berasal dari ikan lele atau ikan mas sebagai donor. Penyuntikan dengan ekstrak hipofisa dilakukan dengan dosis 1 kg donor/kg induk (bila menggunakan donor ikan lele) atau 2 kg donor/kg induk (bila menggunakan donor ikan mas). Penyuntikan menggunakan ovaprim atau ovatide dilakukan dengan dosis 0,2 ml/kg induk.
Penyuntikan dilakukan satu kali secara intra muscular yaitu pada bagian punggung ikan. Rentang waktu antara penyuntikan dengan ovulasi telur 10 – 14 jam tergantung pada suhu inkubasi induk.
Prosedur pemijahan buatan meliputi:
  • Pemeriksaan ovulasi telur pada induk betina,
  • Pengambilan kantung sperma pada ikan jantan,
  • Pengenceran sperma pada larutan fisiologis (NaCl 0,9%) dengan perbandingan 1 : 50 – 100,
  • Pengurutan induk betina untuk mengeluarkan telur,
  • Pencampuran telur dan sperma secara merata untuk meningkatkan pembuahan (fertilisasi),
  • Penebaran telur yang sudah terbuahi secara merata pada hapa penetasan.
Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan penggantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi. Peningkatan kandungan oksigen terlarut dapat pula diupayakan dengan pemberian aerasi.
Telur lele SANGKURIANG menetas 30 – 36 jam setelah pembuahan pada suhu 22 – 25 oC. Larva lele yang baru menetas memiliki cadangan makanan berupa kantung telur (yolksack) yang akan diserap sebagai sumber makanan bagi larva sehingga tidak perlu diberi pakan. Penetasan telur dan penyerapan yolksack akan lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Pemeliharaan larva dilakukan dalam hapa penetasan. Pakan dapat mulai diberikan setelah larva umur 4 – 5 hari atau ketika larva sudah dapat berenang dan berwarna hitam.

Pendederan I dan Pendederan II
Benih ikan lele dapat dipelihara dalam bak plastik, bak tembok atau kolam pendederan. Pakan yang diberikan berupa cacing Tubifex, Daphnia, Moina atau pakan buatan dengan dosis 10 – 15% bobot biomass.

KOLAM UNTUK PENDEDERAN

  1. Bentuk kolam pada minggu 1-2, lebar 50 cm, panjang 200 cm, dantinggi 50 cm. Dinding kolam dibuat tegak lurus, halus, dan licin,sehingga apabila bergesekan dengan tubuh benih lele tidak akanmelukai. Permukaan lantai agak miring menuju pembuangan air.Kemiringan dibuat beda 3 cm di antara kedua ujung lantai, di mana yangdekat tempat pemasukan air lebih tinggi. Pada lantai dipasang pralondengan diameter 3-5 cm dan panjang 10 m.
  2. Kira-kira 10 cm dari pengeluaran air dipasang saringan yang dijepitdengan 2 bingkai kayu tepat dengan permukaan dalam dinding kolam. Diantara 2 bingkai dipasang selembar kasa nyamuk dari bahan plastikberukuran mess 0,5-0,7 mm, kemudian dipaku.
  3. Setiap kolam pendederan dipasang pipa pemasukan dan pipa air untukmengeringkan kolam. Pipa pengeluaran dihubungkan dengan pipa plastikyang dapat berfungsi untuk mengatur ketinggian air kolam. Pipa plastiktersebut dikaitkan dengan suatu pengait sebagai gantungan.
  4. Minggu ketiga, benih dipindahkan ke kolam pendederan yang lain.Pengambilannya tidak boleh menggunakan jaring, tetapi dengan mengaturketinggian pipa plastik.
  5. Kolam pendederan yang baru berukuran 100 x 200 x 50 cm, denganbentuk dan konstruksi sama dengan yang sebelumnya.
PENJARANGAN
  1. Penjarangan adalah mengurangi padat penebaran yang dilakukan karena ikan lele berkembang ke arah lebih besar, sehingga volume ratio antara lele dengan kolam tidak seimbang.
    • Apabila tidak dilakukan penjarangan dapat mengakibatkan :
    • Ikan berdesakan, sehingga tubuhnya akan luka.
    • Terjadi perebutan ransum makanan dan suatu saat dapat memicumumculnya kanibalisme (ikan yang lebih kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar).
    • Suasana kolam tidak sehat oleh menumpuknya CO2 dan NH3, dan O2kurang sekali sehingga pertumbuhan ikan lele terhambat.
  2. Cara penjarangan pada benih ikan lele :
    • Minggu 1-2, kepadatan tebar 5000 ekor/m2
    • Minggu 3-4, kepadatan tebar 1125 ekor/m2
    • Minggu 5-6, kepadatan tebar 525 ekor/m2
PEMBERIAN PAKAN

  1. Hari pertama sampai ketiga, benih lele mendapat makanan darikantong kuning telur (yolk sac) yang dibawa sejak menetas.
  2. Hari keempat sampai minggu kedua diberi makan zooplankton, yaituDaphnia dan Artemia yang mempunyai protein 60%. Makanan tersebutdiberikan dengan dosis 70% x biomassa setiap hari yang dibagi dalam 4kali pemberian. Makanan ditebar disekitar tempat pemasukan air.Kira-kira 2-3 hari sebelum pemberian pakan zooplankton berakhir,benih lele harus dikenalkan dengan makanan dalam bentuk tepung yangberkadar protein 50%. Sedikit dari tepung tersebut diberikan kepadabenih 10-15 menit sebelum pemberian zooplankton. Makanan yang berupa tepung dapat terbuat dari campuran kuning telur, tepung udang dansedikit bubur nestum.
  3. Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
  4. Minggu keempat dan kelima diberi pakan sebanyak 32% x biomassasetiap hari.
  5. Minggu kelima diberi pakan sebanyak 21% x biomassa setiap hari.
  6. Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
  7. Minggu keenam sudah bisa dicoba dengan pemberian pelet apung.
 

Perawatan Tepat, Panen Lele pun Maksimal

Di desa Gunungsari, kecamatan Beji, Pasuruan, seorang petani lele berhasil membudidaya ikan lele dengan hasil yang maksimal. Dalam kolam seluas 120m2, Kayat, demikian nama petani lele itu menebar 22000 ekor bibit lele dumbo berukuran 5cm-7cm. Hampir 3 bulan kemudian, bibit yang mulanya hanya berbobot 90kg, saat panen menjadi 2 ton lebih.
Dengan harga Rp.9.500 per kilogram untuk lele konsumsi, omzet yang didapat Kayat sekitar 19 juta rupiah. Dari omzet tersebut, Kayat mengeruk laba bersih sekitar 9 juta sesudah dipotong biaya untuk bibit, pakan dan obat-obatan.
Perawatan Tepat
Budi daya lele sebenarnya tidak semudah yang dibayangkan. Di desa Gunungsari yang dikenal sebagai sentra budidaya lele konsumsi itu, sekitar 60 persen masyarakatnya menekuni usaha ini. Namun demikian, hanya sedikit saja yang mendapatkan hasil maksimal seperti yang diperoleh Kayat. Tidak jarang, diawal-awal atau pada minggu pertama setelah penebaran, banyak bibit lele yang mati. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari kondisi air kolam yang kotor, bibit kurang baik, hingga serangan penyakit. Tidak sedikit petani lele di daerah itu gagal panen karena lelenya mati semua. Kalau sudah begitu, bukan keuntungan yang didapat, tetapi jutaan rupiah akan melayang.
Lele
Usut punya usut, keberhasilan Kayat dalam budi daya lele diawali dari persiapan kolam secara matang, kemudian pembelian bibit lele yang baik/tidak mudah sakit, hingga pemberian pakan yang cukup.
Untuk menghindari kondisi air kolam rusak, sirkulasi air perlu diatur, terutama setelah pemberian pakan, dengan demikian air kolam akan selalu bersih dan lele tidak mudah terserang penyakit.
Lele tergolong ikan dengan konsumsi pakan cukup besar, jika pakan kurang, maka sesama lele akan saling memangsa. Untuk itu pemberian pakan jangan sampai telat. Untuk mengirit biaya pakan, Kayat biasa memberikan limbah telur atau ayam sebagai pengganti pakan pelet yang harganya sangat mahal. Kebutuhan total pakan lele sendiri bisa mencapai 80% dari total biaya operasional.
Apa kunci dari keberhasilan panen lele milik Kayat ? Kuncinya adalah perawatan air kolam dan pemberian pakan yang cukup. Dalam perawatan air kolam, selain menggunakan cara-cara yang sudah biasa dilakukan, Kayat pun menambahkan larutan probiotik. Probiotik yang digunakan adalah Marine Bioaquatic–disebarkan ke air kolam 2 kali seminggu.
Marine Bioaquatic mengandung bakteri-bakteri penetralisir air kolam untuk melindungi ikan dari racun dan bakteri-bakteri penyebab penyakit. Selain itu, supaya daya tahan ikan optimal dan tidak mudah terserang penyakit, petani berusia 45 tahun ini juga memberikan Marine Biostimulant yang aplikasinya dicampurkan dengan pakan. Pemberian Biostimulan, ujarnya, ternyata berpengaruh besar terhadap percepatan pertumbuhan lele.
 

Penyakit pada Lele

Beberapa jenis penyakit yang sering menyerang ikan lele bisa disebabkan oleh bakteri, parasit atau bahkan cacing. Penyakit – penyakit yang sering dijumpai oleh para peternak ikan lele adalah cendawan, bintik putih, borok, cacingan serta trichodina.
Untuk terhindar dari kerugian besar, para petani ikan lele harus dapat mengendalikan penyakit – penyakit tersebut diatas dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab dari penyakit tersebut serta gejala yang muncul sebelum pada akhirnya nanti mengetahui bagaimana caranya untuk menanggulanginya.
CENDAWAN
  1. Jenis yang dapat menyerang adalah saprolegnia dan achyla, dimana mereka sering dijumpai di perairan yang kaya akan bahan organik.
  2. Penyakit ini menyerang ikan lele yang sudah teruka atau yang sedang berada dalam kondisi lemah.
  3. Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah bahwa pada sekitar lukanya banyak dijumpai serabut berwarna putih.
  4. Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah : kepadatan tebar dikurangi dan air kolam ditaburi dengan garam dapur sejumlah 5 gram / m2.
  5. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah : Merendam ikan lele yang sakit ke dalam air PK berdosis 1 gram / 100 liter air. Proses perendaman dilakukan selama 30 menit. Jamur dapat dihilangkan dengan menggunakan obat Furazolin.
BINTIK PUTIH

  1. Penyebab dari munculnya penyakit ini adalah ichthyophthirius multifiliis dimana mereka akan menyerang ikan lele yang dipelihara didalam kolam yang airnya menggenang.
  2. Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah bahwa pada permukaan kulit dan juga insang ikan lele banyak dijumpai bintik – bintik berwarna putih yang apabila dibiarkan terlalu lama, kulit dan insang ini akan rusak sebelum pada akhirnya nanti ikan lele akan mati dalam hitungan jam.
  3. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah :
  4. Memperbaiki sistem sanitasi, air kolam ditaburi dengan garam dapur sejumlah 30 gram / liter air, sebanyak 2 – 3 kali berturut – turut, penggunaan malachyte green berdosis 0,1 gram / m2 sebanyak 2 hari sekali hingga ikan lele sembuh.
BOROK

  1. Merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh para peternak ikan lele dikarenakan dapat menyebabkan kematian massal.
  2. Penyebab dari munculnya penyakit ini adalah aeromonas dan pseudomonas dimana mereka meenyerang organ dalam ikan lele, seperti hati, limpa serta daging.
  3. Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah munculnya borok diseluruh permukaan kulit ikan lelel. Borok ini akan mengeluarkan nanah jikan penyakit ini memarah.
  4. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah :
  5. Mengkarantinakan ikan lele yang sakit dan pemberian antibiotik pada ikan lele yang masih sehat untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka. Antibiotik ini dapat diberikan dengan cara dicampurkan ke dalam pakan ikan lele dengan dosis antibiotiknya adalah sebesar 1 mg / kg pakan. Selain itu air kolam ditaburi dengan garam dapur sejumlah 10 kilogram yang telah dicampur dengan tumbukan daun pepaya.
CACINGAN
  1. Jenis yang dapat menyerang adalah dactylogyrus dan gyrodactylus, dimana mereka sering dijumpai dikolam yang kepadatan tebarnya terlalu tinggi serta baru saja mengalami perubahan lingkungan hidup yang drastis dan mendadak. Mereka sering menyerang bagian insang ikan lele (akan menyebabkan kesulitan dalam hal bernafas) serta kulitnya (menjadi berlendir).
  2. 2. Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah menurunnya nafsu makan serta ikan lele sering berenang ke atas permukaan air. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah : Mengganti air dalam jumlah yang besar, air kolam ditaburi dengan garam dapur sejumlah 40 gram / m2, merendam ikan lele yang sakit ke dalam air PK berkonsentrasi 0,01 % selama 30 menit.
TRICHODINA

Penyakit ini disebabkan oleh protozoa, dimana mereka menyerang bagian insang dari ikan lele. Ikan yang terserang oleh penyakit ini akan berputar – putar dan muncul diatas permukaan air. Tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah merendam ikan lele yang sakit ke dalam air berformalin berkonsentrasi 15 – 20 ppm.

Pemijahan Ikan: Penentuan Waktu Ovulasi

Kunci kedua yang harus benar-benar dikuasai pada pemijahan ikan adalah penentuan waktu stripping atau waktu ovulasi. Stripping yang terlalu atau lambat dapat mengakibatkan rendahnya keberhasilan tingkat penetasan telur dan menyebabkan kerusakan induk bahkan kematian.
Waktu ovulasi tercapai pada periode tertentu setelah penyuntikan (waktu laten). Waktu laten pada spesies ikan yang berbeda dapat berbeda pula bahkan pada spesies ikan yang sama, bergantung pada tingkat kematangan akhir gonad, temperatur inkubasi induk, kondisi lingkungan dan kondisi fisiologis ikan lainnya. Karena itu, penentuan waktu laten pada selang waktu tertentu tidak dapat secara mutlak digunakan, berbeda dengan selang waktu injeksi hormonal pertama dan kedua (bila menggunakan dua kali injeksi).
Secara simpel, identifikasi waktu ovulasi dapat dilakukan dengan mengurut bagian perut ikan ke arah genital secara perlahan. Bila sudah ada sedikit telur yang keluar secara lancar (bukan dipaksa), waktu ovulasi sudah tercapai sehingga pengurutan selanjutnya dapat dilakukan dan dilanjutkan dengan pembuahan.
Secara akurat, waktu ovulasi dapat ditentukan berdasarkan posisi inti. Dengan pemberian larutan serra (60% ethanol, 30% formaldehyde, 10% acetic acid glacial), inti sudah mengalami kerusakan dinding germinal (GVBD, germinal vesicle breakdown).

Pemijahan Ikan: Seleksi Induk

Usaha pembenihan ikan selalu dikaitkan dengan proses pemijahan ikan.  Terdapat dua kunci utama yang menentukan keberhasilan pemijahan ikan, yaitu: seleksi induk matang gonad dan penentuan waktu pengeluaran telur.  Induk matang gonad adalah kondisi induk yang sudah mengalami pematangan gonad akhir sehingga siap untuk dipijahkan.  Sedangkan waktu pengeluaran telur (stripping) adalah kondisi telur yang sudah mengalami ovulasi yang biasanya ditandai oleh kerusakan vesikula germinal (germinal vesicle breakdown, GVBD).
Seleksi induk diawali oleh penentuan jenis kelamin induk, perbedaan induk mengandung telur dibandingkan induk gemuk dan perbedaan induk gonad muda (fase pertumbuhan) dibandingkan gonad matang.  Pada kebanyakan ikan air tawar, sexual dimorphism induk jantan dan betina dapat mudah dibedakan, misalnya: ikan-ikan Lele (Clarias sp.), baung (Hemibagrus nemurus) dan nila (Oreochromis sp.) pada bentuk kelamin, ikan mola (silver carp, Hypophthalmichthys molitrix) dan koan (grass carp, Ctenoparingodon idella) pada bentuk tubuh dan permukaan sirip dada, ikan mas (Cyprinus carpio) dan gurame pada bentuk tubuh dan sperma keluar bila diurut, ikan-ikan patin (Pangasius sp.) dengan adanya sperma bila diurut dan pada kebanyakan ikan hias dengan perbedaan warna (sexual dichromatism).
Induk yang akan dipijahkan diberok terlebih dulu untuk mengetahui kandungan dalam perutnya adalah telur dan bukan kotoran.  Pemberokan selama 1 – 2 biasanya dapat mengeluarkan kotoran dari dalam sistem pencernaan ikan dan mengurangi kandungan lemaknya.  Bila induk mengandung telur, bentuk perutnya masih tetap membesar.
Secara sederhana, penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan bentuk perut induk betina yang membesar dan bila diraba terasa lembek.  Lebih lanjut, tingkat kematangan dapat diidentikasi dengan mengambil telur secara intra-ovarian biopsy menggunakan kateter/kanulator dan melihat keseragaman sebaran diameter dan warna telur.  Teknik ini mudah dilakukan di lapangan bahkan bila mikroskop tidak tersedia untuk mengukur sebaran diameter dapat dilakukan dengan melihat perkiraan sebaran diamater pada permukaan kulit.  Secara lebih akurat, penentuan kematangan gonad didasarkan pada migrasi inti yang diamati dibawah mikroskop setelah telur diberi larutan transparansi (larutan serra: 60% ethanol, 30% formaldehyde, 10% acetic acid).  Gonad matang ditandai oleh adanya pergerakan inti menuju pinggir.

Pemeliharaan Bibit dalam Pemijahan Ikan Lele

KOLAM UNTUK PENDEDERAN

  1. Bentuk kolam pada minggu 1-2, lebar 50 cm, panjang 200 cm, dantinggi 50 cm. Dinding kolam dibuat tegak lurus, halus, dan licin,sehingga apabila bergesekan dengan tubuh benih lele tidak akanmelukai. Permukaan lantai agak miring menuju pembuangan air.Kemiringan dibuat beda 3 cm di antara kedua ujung lantai, di mana yangdekat tempat pemasukan air lebih tinggi. Pada lantai dipasang pralondengan diameter 3-5 cm dan panjang 10 m.
  2. Kira-kira 10 cm dari pengeluaran air dipasang saringan yang dijepitdengan 2 bingkai kayu tepat dengan permukaan dalam dinding kolam. Diantara 2 bingkai dipasang selembar kasa nyamuk dari bahan plastikberukuran mess 0,5-0,7 mm, kemudian dipaku.
  3. Setiap kolam pendederan dipasang pipa pemasukan dan pipa air untukmengeringkan kolam. Pipa pengeluaran dihubungkan dengan pipa plastikyang dapat berfungsi untuk mengatur ketinggian air kolam. Pipa plastiktersebut dikaitkan dengan suatu pengait sebagai gantungan.
  4. Minggu ketiga, benih dipindahkan ke kolam pendederan yang lain.Pengambilannya tidak boleh menggunakan jaring, tetapi dengan mengaturketinggian pipa plastik.
  5. Kolam pendederan yang baru berukuran 100 x 200 x 50 cm, denganbentuk dan konstruksi sama dengan yang sebelumnya.
PENJARANGAN

  1. Penjarangan adalah mengurangi padat penebaran yang dilakukan karenaikan lele berkembang ke arah lebih besar, sehingga volume ratio antaralele dengan kolam tidak seimbang.
    • Apabila tidak dilakukan penjarangan dapat mengakibatkan :
    • Ikan berdesakan, sehingga tubuhnya akan luka.
    • Terjadi perebutan ransum makanan dan suatu saat dapat memicu munculnya kanibalisme (ikan yang lebih kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar).
    • Suasana kolam tidak sehat oleh menumpuknya CO2 dan NH3, dan O2 kurang sekali sehingga pertumbuhan ikan lele terhambat.
  2. Cara penjarangan pada benih ikan lele
    • Minggu 1-2, kepadatan tebar 5000 ekor/m
    • Minggu 3-4, kepadatan tebar 1125 ekor/m2
    • Minggu 5-6, kepadatan tebar 525 ekor/m2
PEMBERIAN PAKAN
  1. Hari pertama sampai ketiga, benih lele mendapat makanan dari kantong kuning telur (yolk sac) yang dibawa sejak menetas.
  2. Hari keempat sampai minggu kedua diberi makan zooplankton, yaitu Daphnia dan Artemia yang mempunyai protein 60%. Makanan tersebut diberikan dengan dosis 70% x biomassa setiap hari yang dibagi dalam 4 kali pemberian. Makanan ditebar disekitar tempat pemasukan air. Kira-kira 2-3 hari sebelum pemberian pakan zooplankton berakhir,
  3. benih lele harus dikenalkan dengan makanan dalam bentuk tepung yang berkadar protein 50%. Sedikit dari tepung tersebut diberikan kepada benih 10-15 menit sebelum pemberian zooplankton. Makanan yang berupa tepung dapat terbuat dari campuran kuning telur, tepung udang dan sedikit bubur nestum.
  4. Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
  5. Minggu keempat dan kelima diberi pakan sebanyak 32% x biomassa setiap hari.
  6. Minggu kelima diberi pakan sebanyak 21% x biomassa setiap hari.
  7. Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
  8. Minggu keenam sudah bisa dicoba dengan pemberian pelet apung.

Pembuatan Kolam Terpal Untuk Lele

Apa saja yang di perlukan untuk membuat kolam terpal?
  1. Lahan, usahakan lahan yang sedikit rindang, tapi jangan langsung di bawah pohon.
  2. Terpal, berukuran ukuran 4×5, yang saya pakai adalah terpal jenis A3, lebih tebal. Tapi ada juga beberapa kolam sejenis dengan terpal yang lebih tipis. Jadi, saya pikir itu pun bisa dipakai untuk menghemat biaya.
  3. Bambu, diperlukan bambu yang dibelah besar, dengan ukuran 2,2 meter sebanyak kurang lebih 10 belahan, dan ukuran 3,2 meter sebanyak kurang lebih 10 belahan.
  4. Tiang patok, diperlukan kayu yang nantinya bakal tumbuh agar bisa bertahan lama, seperti tanaman Hanjuang atau apa saja yang kuat . Jangan menggunakan bambu karena masa pakainya terbatas.
  5. Paku, digunakan untuk memaku belahan bambu ke patoknya.
  6. Kawat, digunakan untuk mengikat terpal ke patok/bambu.
Cara pembuatan :
Setelah semua bahan tersedia, terlebih dulu ratakan tanah yang akan di pakai untuk mendirikan kolam terpal, jangan sampai ada benda tajam di atasnya. Lalu dirikanlah patok di empat sudut berbeda dengan ukuran panjang 3 meter dan lebar 2 meter. Kemudian pasang belahan bambu 2,2 m untuk lebarnya dengan menggunakan paku, dan belahan bambu 3,2 m untuk panjangnya, pasang agak merapat agar rangka kolam kuat, setelah semua terpasang, maka terpal dapat dipasang membentuk segi empat di dalam rangka tersebut. Ujung terpal diikat kuat-kuat dengan kawat ke patok. Karena nantinya terpal akan diisi air, maka pastikan rangka kolam terpasang dengan kuat.

Pembenihan dan Perbaikan Genetika Ikan Lele dengan Metode Silang Balik Menjadi Lele Sangkuriang

 
Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air Tawar yang sudah dibudidayakan secara luas oleh masyarakat terutama di Pulau Jawa. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah.
Pengembangan usaha budidaya ikan lele semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985. Keunggulan lele dumbo dibanding lele lokal antara lain tumbuh lebih cepat, jumlah telur lebih banyak dan lebih tahan terhadap penyakit. Namun demikian perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung pengelolaan induk yang baik menyebabkan lele dumbo mengalami penurunan kualitas. Hal ini karena adanya perkawinan sekerabat (inbreeding), seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah.
Sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele dumbo strain baru yang diberi nama lele “Sangkuriang”.
Seperti halnya sifat biologi lele dumbo terdahulu, lele Sangkuriang tergolong omnivora. Di alam ataupun lingkungan budidaya, lele sangkuriang dapat memanfaatkan plankton, cacing, insekta, udang-udang kecil dan mollusca sebagai makanannya. Keunggulan dari lele sangkuriang ini diantaranya dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang tinggi, dapat hidup pada kondisi air yang marjinal dan efisiensi terhadap pakan yang tinggi.

Klasifikasi Lele Sangkuriang

Lele sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetika lele dumbo melalui silang balik (backcross). Sehingga klasifikasinya sama dengan lele dumbo yakni:
Phyllum: Chordata, Kelas: Pisces, Subkelas : Teleostei, Ordo: Ostariophysi, Subordo: Siluroidea, Famili: Clariidae, Genus: Clarias, Spesies: Clarias sp (Lukito, 2002).

Proses Perbaikan Genetik

Lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik (back cross) antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Kemudian menghasilkan jantan dan betina F2-6. Jantan F2-6 selanjutnya dikawinkan dengan betina generasi kedua (F2) sehingga menghasilkan lele sangkuriang. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi dari Afrika ke Indonesia tahun 1985. Sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi (Anonimus, 2007).
Meskipun induk awal lele sangkuriang berasal dari ikan lele dumbo, antara keduanya tetap memiliki perbedaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Ciri-ciri Morfologi

Menurut Anonimus (2005) secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk lele dumbo. Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Lele Sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Sementara itu, sirip yang yang berpasangan ada dua yakni sirip dada dan sirip perut. Pada sirip dada (pina thoracalis) dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan dipermukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent), bentuknya seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah.

Habitat

Lele sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek. Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu kandungan O2 6 ppm, CO2 kurang dari 12 ppm, suhu (24 – 26) o C, pH (6 – 7), NH3 kurang dari 1 ppm dan daya tembus matahari ke dalam air maksimum 30 cm (Lukito, 2002).

Tingkah Laku

Ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari, ikan lele lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang tenang dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang kecil (bentos) yang terletak di dasar perairan (Simanjutak, 1989 ).

TEKNIK PEMBENIHAN

Pemeliharaan Induk

Faktor penting dalam pembenihan ikan lele sangkuriang yaitu kualitas induk yang akan dipijahkan. Kualitas induk yang baik dapat dilihat dari postur tubuh yang proporsional, tidak ada cacat dan luka pada tubuh ikan, serta gerakan ikan yang lincah. Induk yang dipijahkan pada waktu melaksanakan kegiatan PKL berasal dari kolam pemeliharaan induk di Sub Unit Kolam Air Deras (SUKAD) Cisaat, BBPBAT Sukabumi.
Induk yang dipelihara berumur antara (1 – 2,5) tahun dengan bobot (0,75–2) kg dan kepadatan 5 ekor/m3. Induk jantan dan betina dipelihara secara terpisah hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam penyeleksian. Kolam yang digunakan berupa kolam beton terbuka berbentuk persegi panjang yang berukuran 10 m x 2 m x 1,5 m dan kolam beton yang dilengkapi dengan penutup berupa jaring kawat, kolam tersebut berukuran 5 m x 2 m x 1,5 m. Menurut Prihartono dkk (2000), dalam pembenihan ikan lele sangkuriang, induk merupakan sarana produksi paling penting. Oleh karena itu, agar hasil pembenihan memuaskan, induk yang digunakan harus unggul. Untuk mendapatkan induk yang unggul, perlu dilakukan pemeliharaan induk secara khusus. Selama pemeliharaan padat tebar induk perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat stress ikan. Induk ikan lele sangkuriang dipelihara dalam kolam atau bak berukuran (3×4) m2 dengan padat tebar 5 kg/m2.
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah pakan apung komersil merk Hi-Pro-Vite 781 dengan kandungan protein 30%-33% yang bertujuan untuk mempercepat pematangan gonad. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB, sebanyak 3%-5% dari bobot total dengan kandungn gizi: Protein 33%, Lemak 5%, Serat 6%, Abu 8% dan Kadar air 13%. Upaya untuk memperoleh induk matang telur menurut Prihartono dkk (2000), adalah dengan memberikan pakan komersil yang memiliki kadar protein diatas 20%. Pakan yang diberikan sebanyak 4% dari total bobot tubuh ikan setiap hari pada pagi dan sore hari. Bila sudah matang gonad, induk dapat diseleksi.

Pemijahan

Umur induk betina lele sangkuriang siap dipijahkan berumur > 1 tahun, massa (0,7 – 1) kg dengan panjang standar (25 – 30) cm, sedangkan induk jantan antara lain yaitu berumur > 1 tahun, massa (0,5 – 0,75) kg, dengan panjang standar (30 – 35) cm. Induk betina yang sudah matang gonad, secara fisik ditandai dengan perut yang membesar dan lembek, tonjolan alat kelamin membulat dengan warna merah keungu-unguan dan tampak membesar, bila dilihat secara kasat mata warna telur terlihat hijau tua bening atau coklat kehijau-hijauan, tulang kepala agak meruncing, gerakannya lamban. Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna tubuh yang lebih mencolok dari betina yaitu terlihat kemerah-merahan pada bagian sirip punggung (dorsal), dengan bentuk genital yang meruncing dan memanjang melebihi ujung sirip anal yang letaknya berdekatan dengan anus, tulang kepala lebih mendatar (pipih) dibanding induk betina, perut tetap ramping dan gerakannya yang lincah. Jika diurut secara perlahan pada bagian kelaminnya, akan mengeluarkan cairan putih susu yang kental, cairan itulah yang dinamakan sperma.
Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur (8 – 9) bulan dengan massa minimal 500 gram. Telur akan menetas dalam tempo 24 jam setelah memijah dengan kemampuan memijah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Menurut Prihartono, dkk (2000), tanda-tanda induk jantan yang telah siap memijah diantaranya alat kelamin tampak jelas (meruncing), perutnya tampak ramping, jika perut diurut akan keluar spermanya, tulang kepala agak mendatar dibanding dengan betinanya, jika warna dasar badannya hitam (gelap), warna itu menjadi lebih gelap lagi dari biasanya. Sedangkan untuk induk betina alat kelaminnya bentuknya bulat dan kemerahan, lubangnya agak membesar, tulang kepala agak cembung, gerakannya lamban, warna badannya lebih cerah dari biasanya.
Metode pemijahan yang digunakan di BBPBAT Sukabumi yaitu metode pemijahan secara buatan (Induced Breeding). Pemijahan buatan menggunakan induk jantan dan betina dengan perbandingan 1 : 3 (1 induk jantan, 3 induk betina). Pemijahan buatan dilakukan dengan penyuntikan hormon perangsang (ovaprim) yang bertujuan untuk mempercepat proses ovulasi pada induk betina. Dosis hormon ovaprim yang digunakan adalah 0,2 ml/kg induk ikan yang diencerkan dengan menambahkan larutan Sodium Chloride 0,9% untuk seluruh jumlah induk ikan. Metode pemijahan dengan cara induce breeding menurut Effendi (2004), bila menggunakan ovaprim dosisnya 0,3 ml/kg induk; streeping, induk jantan dan induk betina pada pemijahan ini harus dipisahkan. Setelah (10-12) jam dari penyuntikan, induk betina siap di-streeping.
Berdasarkan hasil penimbangan induk selama praktek, diperoleh data massa induk betina sebesar 13 kg yang berasal dari 12 ekor jumlah induk dengan massa telur sebesar 1 kg. Setelah data massa induk diperoleh, maka diketahui jumlah hormon ovaprim yang dibutuhkan yaitu sebanyak 2,6 ml. Untuk campuran homon ovaprim dan sodium chloride diperlukan dosis sebanyak 0,5 ml/ekor, maka jumlah campuran yang dapat diperoleh adalah 6 ml. Dari perhitungan sebelumnya, maka diketahui jumlah sodium chloride yang digunakan adalah 3,4 ml. Waktu antara penyuntikan dengan ovulasi yaitu (10 – 12) jam tergantung suhu inkubasi induk (suhu selama praktek + 230C). Penyuntikan dilakukan pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB sehingga proses pengeluaran telur (streeping) dapat dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB hal ini bertujuan agar hasil streeping yang dihasilkan dapat maksimal, karena suhu air pada pagi hari relatif stabil sehingga tingkat stress yang ditimbulkan pada induk relatif kecil dan untuk mempermudah mengamati ovulasi. Penyuntikan dilakukan 1 kali secara intramuskular, yaitu penyuntikan pada bagian otot punggung induk lele sangkuriang.

Streeping dan Pembuahan

Pada selang waktu (10–12) jam setelah penyuntikan dilakukan pemeriksaan terhadap induk betina dan dinyatakan ovulasi. Setelah itu, segera dilakukan penyediaan cairan sperma. Penyediaan cairan sperma dilakukan dengan pengambilan kantong sperma dengan jalan pembenahan. Induk jantan dibedah dengan menggunakan gunting dari arah genital ke arah kepala, kemudian kantong sperma diambil dan dibersihkan dengan menggunakan kertas tissu. Sperma dikeluarkan dengan cara menggunting kantong sperma pada bagian sisinya, lalu diperas dan diencerkan dengan menggunakan larutan Sodium Chloride 0,9%. Perbandingan yang digunakan yaitu 250 ml Sodium Chloride 0,9% untuk sperma yang berasal dari 1 ekor induk jantan.
Setelah larutan sperma siap, dilakukan pengeluaran telur dengan cara pengurutan. Pada bagian kepala dipegang dengan menggunakan kain lap agar tidak licin, kemudian bagian perut diurut dari dada ke arah genital secara perlahan-lahan (Streeping). Telur yang keluar ditampung dalam wadah plastik yang bersih dan kering. Fekunditas telur yang dihasilkan induk lele sangkuriang setelah dilakukan sampling adalah 138 butir dalam 0,22 gram. Setelah dikonfersikan diketahui jumlah telur sebanyak 627.273 butir/kg telur atau sekitar 52.273 butir/ekor induk.
Sperma yang telah tersedia dicampurkan dengan telur dan diaduk menggunakan bulu ayam. Setelah teraduk merata tuangkan air secukupnya kemudian digoyang-goyangkan lagi secara perlahan. Pemberian air diperlukan untuk mengaktifkan sperma karena saat dalam larutan fisiologis sperma belum aktif, membuka mikrofil pada telur ikan, dan untuk membersihkan telur dari sisa-sisa sperma yang tidak aktif/mati.
Menurut Anonimus (2005) ovulasi adalah puncak dari kematangan gonad, dimana telur yang telah masak harus dikeluarkan dengan cara dipijit pada bagian perut (streeping). Induk jantan diambil spermanya melalui pembedahan. Pencampuran telur dan sperma dilakukan dengan menggunakan bulu ayam sampai sperma dan telur tercampur merata. Untuk meningkatkan pembuahan, maka telur dan sperma dapat ditambahkan dengan garam dapur sebanyak 4000 ppm sambil diaduk dan ditambahkan air sedikit demi sedikit. Setelah tercampur kemudian dilakukan pembersihan dengan penggantian air sebanyak (2-3) kali. Telur yang dibuahi akan mengalami pengembangan dengan ukuran telur yang terlihat lebih besar dan berwarna hijau tua, sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih.

Penetasan Telur

Penetasan telur dilakukan pada hapa berukuran (2×1x0,2) m3 yang dipasang pada bak fiber persegi panjang berukuran (4×2x0,8) m3 yang sebelumnya telah diisi air setinggi 50 cm. Kemudian hapa diberi pemberat berupa besi behel ukuran 5 mm, berbentuk persegi panjang seperti dasar hapa. Hapa penetasan dialiri air secara terus menerus dengan debit air 40 ml/detik, selain itu juga bak penetasan diberi aerasi sebagai penyuplai oksigen.
Sebelum telur ditebar, terlebih dahulu dilakukan pencucian telur dari sisa sperma, dan diambil beberapa butir telur untuk dijadikan sample penghitungan telur yang tidak dibuahi, telur yang dibuahi tapi rusak, serta daya tetas telur (HR) sebanyak 723 butir dalam wadah sampling yang terpisah. Telur ditebar secara merata di dalam 4 hapa dengan padat tebar sekitar 156.818 butir/hapa dan menetas sekitar (30–36) jam setelah pembuahan pada suhu (23–24)oC.
Selama masa inkubasi, kondisi telur terus diamati. Pengamatan dilakukan untuk melihat telur yang tidak dibuahi, telur yang dibuahi tapi rusak, dan daya tetas telur (HR). Untuk mengetahui kondisi telur yang tidak dibuahi dapat diketahui pada jam ke-8 setelah penebaran telur, kondisi itu dapat diketahui dengan melihat warna telur yang berubah menjadi putih. Sedang untuk mengetahui kondisi telur yang dibuahi tapi kemudian rusak/gagal dapat diketahui setelah telur menetas.
Menurut Susanto (1989), penetasan telur dilakukan di dalam bak fiber yang berukuran (2×1x0,3) m3 dan ketinggian air sekitar (30 – 40) cm. Biasanya telur – telur akan menetas selama (1 – 2) hari setelah pemijahan pada suhu (25-30)0C. Kondisi air yang hangat akan semakin meningkatkan daya tetas telur (>90%). Dari hasil pengamatan sample selama PKL sebanyak 723 butir diketahui telur yang tidak tidak dibuahi sebanyak 6 butir (0,83%), telur yang dibuahi tapi rusak sebanyak 11 butir (1,52%), dan telur yang berhasil menetas sebanyak 706 butir (97,65%). Total keseluruhan telur yang menetas adalah sebanyak 612.532 butir. Dari hasil sample yang ada menunjukkan bahwa, walaupun pada suhu di bawah 250C (23-24)0C jika ditunjang dengan kualitas induk dan telur yang baik maka HR yang dihasilkan dapat maksimal.

Pemeliharaan Larva

Telur lele sangkuriang akan menetas sekitar (30 – 36) jam setelah pembuahan pada suhu (23 – 24)oC. Pemeliharaan larva pasca penetasan telur dilakukan pada hapa penetasan telur yang dialiri air dan dilengkapi dengan aerasi yang tidak terlalu kencang agar larva tidak teraduk. Pemeliharaan larva dalam happa dilakukan selama (4-5) hari tanpa diberi pakan, karena larva pada saat itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu sendiri.
Memasuki hari ke-5 dan seterusnya kuning telur dalam tubuh larva telah habis, larva selanjutnya dipindahkan ke dalam bak fiber untuk dipelihara lebih lanjut. Pemeliharan larva dalam bak fiber dilakukan sejak ikan memasuki umur 5 hari hingga 21 hari. Larva dipelihara dalam bak fiber berukuran 4 m x 2 m x 0,8 m dan diisi air sebanyak 1/2 dari tinggi bak dengan padat tebar 15.625 ekor/ m3. Jadi jumlah penebaran larva dalam bak fiber sebanyak 100.000 ekor.
Selama dalam pemeliharaan di dalam fiber, larva umur 5 hari diberi pakan cacing sutra (tubifex sp). Sebelum diberikan, cacing sutra tersebut dicincang terlebih dahulu. Hal itu dilakukan karena ukuran bukaan mulut ikan yang masih kecil. Pemberian cacing sutra cincang diberikan hingga larva berumur 12 hari. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 50 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi dan sore hari. Setelah ikan berumur lebih dari 12 hari selanjutnya larva ikan diberi pakan cacing sutra utuh dengan jumlah pakan sebanyak 75 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi dan sore hari. Pemberian pakan, selama masa pemeliharaan larva lele sangkuriang diberikan pakan alami dan pakan tambahan. Menurut Mujiman (2000), Pemberian pakan alami disesuaikan dengan ukuran benih. Biasanya efektivitas pertumbuhan benih yang memakan plankton alami berkisar (2–3) minggu sejak ditebar ke kolam. Pakan tambahan diberikan dengan dosis 3% – 5% dari bobot populasi ikan dan diberikan dua sampai tiga kali sehari, pemberiannya dimulai sejak hari kedua setelah benih ditebar.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup larva, maka lingkungan yang baik harus tetap terjaga. Menurut Lukito (2002), dalam kegiatan pengontrolan kualitas air meliputi pergantian air dengan pengaturan volume air dan penyiponan. Pengelolaan kualitas air selama PKL, dilakukan dengan melakukan penyifonan bak pemeliharaan larva setiap pagi hari sebelum pemberian pakan dan penggantian air sebanyak 50%. Penyifonan dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa pakan dan kotoran yang terdapat di dasar bak pemeliharaan larva. Sedangkan untuk menambah oksigen terlarut dalam bak pemeliharaan larva, air dalam bak pemeliharaan diberikan aerasi secara terus menerus.
Selama pemeliharaan larva dalam bak fiber tidak memperlihatkan gejala-gejala bahwa ikan terserang hama penyakit. Jika dilihat dari gerakannya yang normal dan nafsu makan yang relatif tinggi menandakan kondisi ikan sehat dan normal. Meskipun kondisi ikan dalam kondisi yang baik, selama dalam pemeliharaan, larva ikan lele sangkuriang tetap diberikan perawatan sebagai upaya pengendalian hama penyakit untuk pencegahan. Menurut Lukito (2004), kegiatan pengendalian hama penyakit meliputi pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan yang dilakukan selama PKL yaitu dengan memberikan garam sebanyak 3 kg dalam 3,2 m3 air (1 ppt).

Panen

Larva yang telah berumur 21 hari warna tubuhnya tampak kehitaman dan sudah menyebar dipermukaan air, hal ini menandakan bahwa larva siap dipanen untuk langsung dijual atau ditebar ke kolam pendederan yang sudah disiapkan sebelumnya. Pemanenan larva didahului dengan menutup saluran pemasukan air dan membuka outlet. Kemudian pada pipa outlet dipasang seser halus untuk menampung benih. Menurut Prihartono dkk (2000), larva lele sangkuriang umur satu minggu telah siap untuk dipanen. Selama kegiatan pemanenan perlu adanya perlakuan tertentu karena lele sangkuriang merupakan jenis ikan yang tidak bersisik, tetapi tubuhnya berlendir. Oleh karena tidak bersisik maka tubuhnya sangat mudah mengalami lecet dan luka. Lecet atau luka pada lele sangkuriang dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan yang sembarangan, cara panen yang kurang baik dan waktu panen yang kurang tepat.
Hasil sampling bahwa larva lele sangkuriang umur 21 hari kepadatan per mili liternya yaitu 150 ekor atau 15.000 ekor per 100 ml, sedangkan larva yang dipanen sebanyak 5 gelas. Sehingga total larva yang dipanen sebanyak 75.000 ekor (SR 75%). Larva diangkat atau dipindahkan dengan menggunakan beker glass berukuran 100 ml ke dalam baskom penampungan atau langsung dipacking ke dalam kantong plastik berukuran 40 cm x 60 cm dua rangkap dan telah diisi air sebanyak (4 – 6) liter, kemudian diberi oksigen sebanyak 2/3 dan diikat dengan menggunakan karet gelang. Kepadatan larva per kantong tergantung jarak pengangkutan atau permintaan dari pembeli. Tapi biasanya berkisar antara (15.000 – 30.000) ekor larva dalam setiap kantong. Setelah packing, benih siap dikirim ke tempat yang dituju.
KESIMPULAN
1. Metode pemijahan yang dilakukan terhadap ikan lele sangkuriang di BBPBAT Sukabumi adalah menggunakan metode pemijahan buatan berupa kawin suntik (induce breeding). Tahapan pelaksanaan kegiatan pemijahan kawin suntik (induce breeding) diantaranya: pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pemanenan dan penanganan larva.
2. Permasalahan yang dihadapi selama pembenihan ikan lele sangkuriang yaitu pada saat pemeliharaan induk. Pada saat pemeliharaan, induk terkena serangan Aeromonas sp. Langkah awal yang diberikan yaitu dengan mengkarantina induk yang terserang penyakit dalam satu kolam serta memberikan antibiotik (merek dagang Oxy san) dengan dosis 15 gr/30 kg pakan dan vitamin C (merek dagang Premium C) dengan dosis 7,5 gr/30 kg pakan pada pakan.
3. Faktor penting dalam kelangsungan budidaya adalah tersedianya benih yang cukup dari segi kualitas dan kuantitasnya. Sedangkan tersedianya benih yang memadai dipengaruhi oleh kualitas induk, keadaan lingkungan yang cocok, pakan yang cukup serta pengelolaan yang baik dan terencana.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar